alfa138 slot

    Release time:2024-10-08 01:56:59    source:nobar tv live   

alfa138 slot,susunan pemain barcelona vs arsenal,alfa138 slotJakarta, CNN Indonesia--

Pemerintah memiliki setumpuk pekerjaan rumah untuk menahan badai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menerjang di berbagai sektor.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat jumlah pekerja yang menjadi korban PHK melesat menjadi 44.195 per pertengahan Agustus 2024.

Jumlah itu melesat dibanding angka PHK yang terdata Kemnaker pada periode Januari-Juni 2024 yang baru sebanyak 32.064 orang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Per Juli 2024, dari total 42.863 orang yang ter-PHK, jumlah PHK terbanyak terdapat di sektor industri pengolahan (termasuk tekstil, garmen, alas kaki) yaitu sebanyak 22.356 orang. Sedangkan non industri pengolahan sebanyak 20.507 orang," seperti tertulis di data Kemnaker.

Adapun lima industri dengan jumlah PHK terbanyak per 31 Juli 2024 adalah industri pengolahan sebanyak 22.356, aktivitas jasa lainnya 11.656, pertanian, kehutanan, dan perikanan 2.918, pertambangan dan penggalian 2.771, dan perdagangan besar dan eceran 1.902.

Provinsi Jawa Tengah menggeser Provinsi DKI Jakarta sebagai wilayah dengan jumlah PHK terbanyak yakni sebanyak 13.722 orang. Mayoritas PHK di Jawa Tengah didominasi sektor industri pengolahan sebanyak 13.271 orang.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah pun buka suara terkait persoalan ini. Menurutnya, langkah PHK menjadi pilihan terakhir yang bisa dilakukan perusahaan di kala kondisinya tidak bisa dipertahankan.

Lihat Juga :
GM PHK 1.000 Karyawan Demi Hemat Biaya Operasional

Jika PHK harus terjadi, maka perusahaan wajib memenuhi hak-hak pekerja sesuai aturan yang berlaku.

"PHK sebagai jalan terakhir. Tentu kita harapkan PHK jalan terakhir. Jika pun tidak bisa menghindarkan dari PHK, maka jaminan kehilangan pekerjaan harus diberikan. Hak-hak mereka harus diberikan. Kemudian kesempatan kerja baru harus dibuka yang seluas-luasnya," ujar Ida di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, Jumat (16/8), melansir CNBC Indonesia.

Ketika ditanya apa upaya pemerintah menekan fenomena PHK di Indonesia, ia menjawab hal itu dilakukan dengan membangun kesepahaman antara pekerja dengan pengusaha.

"Pemerintah selalu memanggil para pihak jika ada perusahaan yang akan melakukan PHK. Kita biasanya panggil untuk kita mediasi, untuk kita lakukan dialog yang difasilitasi, dijembatani oleh pemerintah," jelasnya.

Lihat Juga :
Menteri PUPR Ungkap Perkembangan Proyek IKN per 20 Agustus

Lantas apa saja yang perlu dilakukan pemerintah demi mengatasi tingginya angka PHK ini?

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan angka PHK bisa ditekan dengan lima strategi. Pertama, meningkatkan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah dan rentan miskin dengan menunda kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen.

Bhima menyebut penurunan tarif PPN menjadi 9 persen bisa dilakukan lewat revisi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Ia menilai kenaikan PPN menjadi 11 persen sejauh ini terbukti berkorelasi dengan rendahnya tingkat konsumsi rumah tangga dan penjualan ritel.

Kedua, membantu beban pekerja dengan menerapkan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang pajaknya ditanggung pemerintah (DTP) hingga pendapatan bruto Rp200 juta per tahun.

Lihat Juga :
Apa Perbedaan Gaji PNS dan PPPK?

"Ketiga, kendalikan harga pangan baik minyak goreng dan beras dengan berbagai intervensi seperti menaikkan subsidi pupuk yang tahun 2025 nilainya berkurang," ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com, Rabu (21/8).

Keempat,mempertebal jaring pengaman sosial dalam bentuk bantuan sosial (bansos) yang tepat sasaran ke kelas menengah rentan. Ia menyoroti bagaimana dalam RAPBN 2025 pos bantuan sosial hanya dialokasikan Rp152,7 triliun, terendah sejak pandemi.

Kelima,memperbaiki insentif fiskal sehingga belanja perpajakan dapat mengefektifkan dan menciptakan serapan kerja di sektor padat karya.

"Selama ini insentif fiskal salah sasaran, karena memberikan keringanan pajak ke industri smelter nikel yang padat modal," tuturnya.

Lihat Juga :
Faisal Basri Kritik Utang Bengkak Era Jokowi, Tapi Ekonomi Mandek 5%

Bhima pun menjelaskan faktor terjadinya PHK termasuk struktural, mulai dari salah kebijakan Undang-Undang Cipta Kerja karena investasi yang masuk kualitas serapannya justru rendah, upah terlalu kecil tidak mampu menaikkan daya beli masyarakat, hingga jaring pengaman bagi pekerja banyak dipangkas.

Selain itu, sektor industri yang loyo. Ia menduga deindustrialisasi prematur berlangsung lebih cepat di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakibatkan sektor jasa yang tumbuh tidak disertai permintaan industri dalam negeri.

Kemudian, kenaikan harga pangan dan suku bunga beberapa tahun terakhir ikut menurunkan permintaan industri pengolahan.

"Kebijakan impor yang tidak jelas, bahkan cenderung memperlonggar impor barang jadi blunder terhadap pabrikan tekstil, pakaian jadi domestik," ucap Bhima.

Bersambung ke halaman berikutnya...

Kerek Daya Saing

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan masalah PHK ini merupakan masalah kompleks. Ia mengungkap sebenarnya PHK yang terjadi di beberapa industri merupakan masalah yang terjadi bahkan sebelum pandemi covid.

Beberapa permasalahan seperti berkurangnya potensi pasar dalam negeri dan luar negeri, relatif masih tingginya biaya investasi, realisasi investasi di industri padat karya yang relatif masih rendah menjadikan serapan angkatan kerja yang besar menjadi semakin kecil. Yusuf menilai kombinasi dari faktor-faktor tersebut menjadi muara pada PHK yang terjadi di tahun ini.

"Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pun pada akhirnya hanya merupakan angka agregat makro karena kalau kita lihat secara mikro beberapa industri tertentu masih strugglinguntuk kemudian mengembalikan daya saingnya setelah pandemi terutama," ujar dia.

Lihat Juga :
ANALISISWarisan Utang Jokowi dan Sandungan Pemerintahan Era Prabowo

"Cara investasi yang masuk pun meskipun beberapa di antaranya masuk ke sektor sekunder, namun tidak semua kemudian kebagian investasi terutama investasi di sektor industri padat karya," imbuh Yusuf.

Menurutnya, sejumlah langkah yang bisa dilakukan pemerintah untuk melakukan intervensi terkait PHK di antaranya, pertama, pemerintah perlu memastikan daya saing industri, terutama yang saat ini tengah masif dalam melakukan PHK.

Untuk menjaga desain ini, pemerintah bisa memastikan persaingan di pasar antara barang dari industri tersebut dengan barang impor berada pada level permainan yang sama, sehingga barang impor yang bersifat ilegal ataupun tidak sesuai dengan ketentuan yang disepakati melalui regulasi pemerintah.

Kedua,intervensi dari sisi industri juga bisa menjadi perhatian pemerintah. Misalnya, dalam periode waktu tertentu pemerintah memberikan insentif berupa pembebasan pajak ataupun subsidi harga gas ataupun BBM yang termasuk ke dalam industri yang saat ini masih melakukan PHK.

Lihat Juga :
Berapa Jumlah Korban PHK di Indonesia Tahun Ini?

"Ketiga,menjaga desain juga bisa dilakukan dengan memastikan indikator makro terjaga, setidaknya sesuai dengan target yang ditetapkan sebelumnya," ucap Yusuf.

Ia menjelaskan bahwa indikator makro seringkali menjadi acuan industri dalam melakukan perencanaan. Sehingga, ketika indikator makro ekonomi itu tidak tercapai atau meleset, maka hal itu bisa menjadi tambahan faktor yang mendorong semakin lemahnya desain industri.

"Sehingga perhatian pemerintah terhadap indikator makro seperti pertumbuhan ekonomi inflasi, dan nilai tukar rupiah itu perlu menjadi hal yang secara tidak langsung ikut mencegah industri agar tidak melanjutkan pemutusan hubungan kerja terutama kalau bicara jangka pendek," tutur dia.

Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita menjelaskan sejumlah faktor penyebab terjadinya PHK belakangan ini. Pertama,melemahnya permintaan atas produk dan jasa buatan dalam negeri, baik untuk pasar dalam negeri maupun untuk pasar ekspor.

Lihat Juga :
ANALISISWas-was Pagu Makan Gratis Rp71 T Terkuras Operasional-Gaji Badan Gizi

Hal ini menurutnya membuat banyak perusahaan akhirnya harus mengurangi produksi, bahkan sebagian malah gulung tikar. Walhasil, pengurangan karyawan pun tak terhindarkan.

Kedua,kalah saing. Ia menilai lemahnya permintaan akibat penurunan daya beli masyarakat menengah ke bawah membuat produk-produk dengan jenis dan kategori yang sama dari pasar impor semakin menjadi pilihan konsumen. Pasalnya, harga lebih miring dibanding produk dalam negeri sebagai akibat dari kebijakan industri dan subsidi di negara asalnya.

"Dengan kata lain, di satu sisi permintaan menurun, di sisi lain produk domestik kalah bersaing dengan produk impor yang bisa diproduksi jauh lebih murah atau disubsidi agar lebih murah dari negara asalnya," jelas Ronny.

Ketiga,deindustrialisasi prematur akibat kebijakan industri pemerintah selama ini. Menurutnya, pemerintah terlalu fokus kepada komoditas dan sektor tertentu, sehingga membuat sektor manufaktur yang menjadi tulang punggung produk-produk consumer goods dalam negeri menjadi terabaikan.

[Gambas:Photo CNN]

Ia menduga fokus pemerintah yang terlalu berlebihan kepada komoditas nikel dan hilirisasi nikel, baterai mobil listrik, mobil dan kendaraan listrik, serta infrastruktur membuat sektor manufaktur dan pertanian terabaikan. Akibatnya, banyak perusahaan manufaktur yang gulung tikar di satu sisi dan ketahanan pangan semakin rentan di sisi lain.

Keempat,pangkal dari persoalan tingginya angka PHK adalah tingkat pertumbuhan ekonomi yang kurang agresif di satu sisi dan kualitas pertumbuhan yang kurang baik di sisi lain.

Ronny menilai kegagalan pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi dan memperbaiki kualitasnya membuat sektor manufaktur yang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar menjadi kurang berkembang.

"Meningkatnya angkatan kerja yang tak mendapat pekerjaan layak ditambah dengan bertambahnya tingkat pengangguran menjadi salah satu penyebab penurunan agregat demand," ujar Ronny.

[Gambas:Video CNN]